Sebuah pepatah mengatakan
setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Setiap sesuatu yang datang pasti akan
pergi. Setiap yang lahir pasti akan mati. Tidak ada yang tetap di dunia ini,
semuanya akan berubah. Yang Maha Kekal hanyalah Allah SWT. Hal itu sudah
ditetapkan oleh Allah SWT:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾
Artinya: “Semua yang
ada di bumi itu akan binasa. Dan (yang) tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahmaan (55):26-27)
Hidup ini memang terkadang
tidak bisa memilih. Kita tidak bisa menghindar dari bagian pahit dari
kehidupan. Seuatu ketika seseorang harus kehilangan orang-orang yang sangat
dicintainya. Karena itu semua adalah bagian dari kehidupan kita. Semuanya harus
diterima dengan lapang dada sebagaimana ketika pertama kali menerima orang yang
dicintai tersebut. Memang sudah menjadi sunnatullah bahwa sesuatu itu ada dan
tiada. Berawal dari tidak ada kemudian jadi ada dan terakhir nantinya akan
kembali menjadai tiada. Itu adalah hal yang sudah pasti dan tidak ada yang bisa
menawar atau menghindar.
Namun terkadang banyak
diantara kita yang tidak bisa melihat dari sisi yang lain dari hilangnya orang
tercinta. Kita biasanya hanya melihat dari sisi ‘kita’nya tanpa berusaha
melihat dari sisi-sisi lainnya, sehingga ketika ada orang yang dicintai telah
pergi, kita langsung mengukur dan menilainya berdasar sudut pandang kita. Maka
ketika hal itu tidak sesuai dengan keinginan atau bertentangan dengan apa yang
kita harapkan, tentu kita tidak akan begitu saja menerima apa yang telah
terjadi itu. Kita sering kali menyalahkan orang lain atau sesuatu faktor lain
atas kejadian yang tidak sesuai dengan keinginan kita, bahkan tidak jarang ada
orang yang secara tidak tahu diri dan begitu sombongnya sampai-sampai berani
menyalahkan Allah SWT atas perginya orang yang dicintainya. Sungguh malang
nasib orang seperti itu.Naudzubillah min dzaalik.” Hendaknya
orang yang sedang merasakan kesedihan yang cukup mendalam berkaca kepada orang
lain yang nasibnya jauh lebih sedih dan sakit dari pada apa yang telah menimpa
padanya.
Simaklah sebuah kisah isra mi'raj Rasulullah SAW, berikut.
Kalau kita baca sejarah
hidup Rasulullah SAW, sebelum peristiwa isra’ mi’raj terjadi, Rasulullah SAW
mengalami musibah duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal mati oleh
istrinya tercinta, yang begitu setia menemani dan menghiburnya dikala orang
lain masih mencemoohnya. Belum habis kesedihan beliau, lalu ditinggal oleh
pamannya, Abu Thalib, yang sangat melindungi aktivitas Nabi SAW. Begitu sedih
Rasulullah SAW, dalam waktu yang berdekatan ditinggal pergi selamanya oleh dua
orang yang sangat dicintainya. Namun demikian Rasulullah SAW tetap sabar dan
tidak putus asa menghadapinya. Beliau yakin bahwa Allah SWT pasti akan
menghiburnya. Dan benarlah, beberapa waktu kemudian Allah SWT menghiburnya
dengan perjalanan Isra’ mi’raj.
Hikmah yang bisa kita ambil
dari kejadian tersebut adalah setiap kesedihan pasti akan diganti oleh Allah
SWT dengan imbalan yang lebih baik. Tidak ada perbuatan yang lebih baik dari
pada sabar bagi orang yang sedang dirudung kesedihan karena ditinggal pergi
selamannya oleh orang-orang dekatnya. Karena sudah banyak bukti yang ditunjukkan
Allah SWT kepada kita, bahwa seorang hamba yang ditinggal mati oleh orang
dekatnya, kemudian dia bersabar pasti akan diganti dengan yang lebih baik.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, menyebutkan bahwa: “Anak Abu Thalhah
menderita suatu penyakit, lalu meninggal dunia. Ketika itu, Abu Thalhah sedang
bepergian. Tatkala istrinya mengetahui bahwa anaknya telah meninggal dunia, ia menyiapkan
sesuatu dan meletakkannya di samping rumah. Ketika Abu Thalhah datang, dia
bertanya?, Bagiamana keadaan anak kita?” Istrinya menjawab, “ jiwanya sudah
tenang dan dia telah istirahat. Abu Thalhah menyangka bahwa istrinya jujur.
Lalu dia menghabiskan malam itu (berkumpul dengan istrinya), dan ketika tiba
waktu pagi, ia pun mandi junub. Ketika hendak bepergian, istrinya
memberitahukan kepadanya bahwa anaknya telah meninggal. Setelah itu, ia shalat
bersama Nabi SAW dan mengabarkan tentang apa yang terjadi padanya. Maka
Rasulullah SAW bersabda: ‘Semoga Allah memberikan berkah untuk kalian berdua
(atas apa yang kalian perbuat) pada malam itu. ‘Kemudian Sufyan menuturkan
bahwa seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku melihat keduanya memiliki
sembilan anak yang seluruhnya hafal al-Qur’an.” (H.R. Bukhari (1301).
Berdasarkan hadits ini, kita
bisa mengambil pelajaran bahwa hanya dengan kehilangan satu orang yang paling
dicintai, namun dihadapi dengan sabar, pasrah dan berdoa memohon kebaikan
kepada Allah SWT, maka diganti dengan lebih banyak dan lebih baik.
Dalam hadits yang lain,
Rasulullah SAW memberikan kabar gembira untuk menenangkan hati orang-orang yang
ditinggal mati oleh orang-orang yang dicintainya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah dua orang muslim yang meninggal diantara keduanya tiga orang anaknya
yang belum baligh, melainkan Allah akan mengampuni keduanya karena karunia
Allah kepada mereka.” (H.R. Imam Ahmad (3544).
Kita juga patut belajar
kepada Urwah bin Zubair, ketika kakinya terpotong, ia berkata, “Segala puji
bagi Allah SWT, Dia telah mengambil satu anggota badan dan masih memberikan
nikmat lainnya yang lebih banyak. Allah mengetahui bahwa sama sekali aku tidak
pernah berjalan untuk tujuan yang haram. “ lalu dikatakan kepadanya, ‘Anakmu telah
terjatuh dari atas tembok sehingga lehernya patah lalu meninggal dunia.’ Maka
Urwah pun menjawab: ‘Segala puji bagi Allah, jika Engkau telah mengambil satu
anakku, Engkau masih menyisakan yang lainnya. Maka bagi-Mu segala pujian atas
apa yang telah engkau ambil dan bagi-Mu segala pujian atas apa yang Engkau
sisakan.” Demikianlah seharusnya kita bersikap apabila orang yang kita cintai
diambil Allah SWT. sebab Allah SWT telah memberikan nikmat yang lebih banyak
dan lebih besar selain itu. Mungkin saja kita telah menikmati pemberian Allah
SWT selama puluhan tahun, lalu Allah hanya mengambil satu saja yang kita
cintai. Maka, tidaklah patut kita berkeluh kesah apalagi putus asa.
Selain itu ada sebuah hadits
qudsi yang memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang ikhlas ditinggal mati
oleh orang yang dicintainya.
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
يَا مَلَكَ الْمَوْتِ قَبَضْتَ وَلَدَ عَبْدِي قَبَضْتَ قُرَّةَ عَيْنِهِ
وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَا قَالَ قَالَ حَمِدَكَ
وَاسْتَرْجَعَ قَالَ ابْنُوا لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ
الْحَمْدِ
Artinya: “Allah SWT
berfirman kepada Malaikat Maut, sudahkah engkau cabut nyawa anak kesangan dan
permatahati hamba-Ku?, Malaikat menjawab: ‘sudah’. Allah bertanya: ‘Apa yang
diucapkan hamba-Ku’. Malaikat menjawab: ‘hamba-Mu memuji-Mu dan ber-Istirja’
(mengucapkan Innalillahi wainnaa ilaihi raaji’uun). Kemudian Allah SWT
berfirman: ‘Bangunkan rumah di surga untuknya dan berilah nama rumah itu dengan
baitul hamdi.”(H.R. Imam Ahmad, 18893).
Kebanyakan hadits
menyebutkan anak-anak saja yang dianggap orang-orang kesayangan. Karena memang
secara umum anak-anak adalah kesayangan dan permati hati setiap orang tua,
apabila buahhatinya hilang tentu menimbulkan kesedihan yang amat mendalam.
Namun semua orang yang dicintai adalah termasuk dalam golongan ini, baik anak,
bapak, ibu, suami, istri dan orang-orang dekat yang dicintainya.
Rasa cinta seseorang memang
sangat mempengaruhi kehidupannya. Namun janganlah cinta kepada sang buah hati
menjadikan lupa diri. Cinta yang berlebihan akan menyebabkan seseorang sangat
bergantung kepadanya. Ketergantungan dan kecenderungan tersebut bisa melebihi
ketergantungannya kepada Allah SWT. Apabila hal ini yang sudah terjadi maka
akan menjadi sebab kesengsaraan, adzab dan kecelakaan. Betapa banyak
orang-orang besar binasa karena ulah orang-orang yang dicintainya.
Barangsiapa bergantung
kepada Allah SWT, cinta karena-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka Allah
SWT akan memuliakan dan mengangkatnya. Kita tidak tahu apakah orang-orang yang
sangat kita cintai itu baik dan bermanfaat. Terkadang orang-orang yang kita
cintai tersebut justru membuat bencana. Karena ini cinta yang paling utama
adalah apabila disandarkan kepada Allah SWT. Ingatlah Nuh yang anak tercintanya
mati tenggelam dalam banjir, namun dia tetap sabar dan berharap imbalan lebih
baik dari Allah SWT dan dia tidak berputus asa. Demikian pula Nabi Muhammad SAW
yang ditinggal oleh pamannya, dia tetap optimis berjuang menghadapi rintangan
dan terus memohon pertolongan kepada Allah SWT dan akhirnya sukses membawa
sinar keimanan di dunia.
Kematian bukanlah suatu
siksaan. Bahkan kematian bagi orang mukmin adalah bagian dari sebuah hadiah.
Rasulullah SAW bersabda:
تحفة المؤمن الموت
“Hadiah orang mu’min adalah
kematian.” (HR Thabrani dan al-Hakim)
Nabi SAW menegaskan hal ini
karena dunia adalah penjara orang mu’min, sebab ia senantiasa berada di dunia
dalam keadaan susah mengendalikan dirinya, menempa syahwatnya dan melawan
syetannya. Dengan demikian, kematian baginya adalah pembebasan dari siksa ini,
dan pembebasan tersebut merupakan hadiah bagi dirinya. Ketika kita sudah
mengetahui bahwa kematian orang yang kita cintai, mungkin saja adalah sebuah
hadiah dari Allah SWT, lalu tidak ada gunanya bagi orang yang ditinggal mati
meratapi dan berkeluh kesah. Karena jika yang meninggal gembira menerima
hadiah, tentu tidak pantas kita menangisinya.
Sebagai pelajaran yang
sangat berharga bagi orang-orang yang ditinggal mati oleh orang-orang yang
dicintainya, maka tidak ada pelajaran yang paling baik kecuali kisah Ummul
Mukminin, Ummu Salamah ra.
Dalam sebuah hadits shahih
yang bersumber dari Ummu Salamah, ia berkata:
”Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak ada seorang hamba pun yan ditimpa
musibah lalu mengucapkan: Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun. Allahumma
jurnii fii mushibatii wakhluflii khairan minhaa. (Sesungguhnya kami milik
Allah, kepada-Nya kami kembali. Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku lantaran
musibah yang menimpaku ini dan berikanlah ganti kepadaku dengan yang lebih baik
dari musibah ini). Kecuali Allah akan memberinya pahala lantaran musibahnya dan
akan mengganti musibahnya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”
Ummu Salamah berkata:
”Ketika Abu Salamah (suaminya) wafat, aku berdoa sebagaimana perintah
Rasulullah padaku, dan ternyata kemudian Allah SWT memberiku ganti yang lebih
baik daripada musibah itu, yaitu pribadi Rasulullah SAW yang menggantikan
kedudukan suaminya dahulu.
Jadi doa yang paling
mustajab bagi orang yang ditinggal pergi kekasihnya adalah:
إنا لله و إنا إليه راجعون, اللهم
أَجُرْني في مصيبتي و اخْلُفْ لي خيرًا منها.
Inna lillahi wa inna ilaihi
roji’un, Allahumma’ajurniy fii mushibati wa akhlif liy khoiron minhaa
“Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepadaNya,
ya Allah berikan aku pahala dalam musibahku ini dan gantikan dengan yang lebih
baik darinya.”
Melainkan Allah akan menggantikan untuknya dengan
yang lebih baik. (HR . Muslim)